Selasa, 10 Juni 2008

Bagian Pertama : Masa Lalu


Prakata




Cerita ini menceritakan tentang petualangan lima orang pemuda yang mewarisi sebuah ilmu silat yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Sumatera sampai saat ini yaitu ilmu harimau jadi-jadian, ilmu ini memang memiliki unsur mistiknya. Di jaman pemerintahan raja Adityawarman pada abad 14, beberapa tokoh terkemuka di pemerintahannya mewarisi ilmu ini, di dalam sejarah hal ini memang tidak diungkapkan karena ilmu ini sangat dirahasiakan oleh para pewarisnya.


Yang mewarisi ilmu ini memiliki ciri khas tersendiri, jika ilmu ini di dapat dari pengajaran seseorang maka di dalam kegelapan kadang-kadang yang mewarisinya memiliki mata yang mengeluarkan sinar kehijau-hijauan seperti mata kucing, dan jika ilmu ini didapat dari keturunan maka pewaris tersebut akan bisa dilihat cirinya dengan jelas yaitu tidak mempunyai belahan di bawah hidung/bibir atas.


Konon katanya sampai sekarang ilmu ini dan pewarisnya masih ada dan hidup di dalam masyarakat kita, bahkan ada yang bilang mereka hidup dalam sebuah komunitas di hutan yang terletak di kaki gunung Kerinci, tapi benar tidaknya belum ada yang terungkap. Semuanya tetap merupakan misteri dalam kehidupan masyarakat Sumatera dan binatang Harimau tetap di hormati sebagai lambang ilmu silat sakti dari Sumatera.





Jilid I : Nagari Batang Kapeh




Kisah ini bermula di daerah Ranah Minang, yang sekarang dinamakan Sumatera Barat, di masa pemerintahan Rajo Adityawarman yang pusat kerajaannya berada di Pagaruyuang. Lebih tepatnya di daerah Painan, Pesisir Selatan, nagari Batang Kapeh ( desa Batang Kapas). Nagari Batang Kapeh ini luas dan dekat dengan laut sehingga kebanyakan dari penduduk di daerah ini mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan. Setiap nagari yang ada di wilayah Minangkabau ini diatur oleh seorang wali nagari (lurah) yang membawahi beberapa kepala jorong (ketua RT jaman sekarang) dan mempunyai penasehat yang dinamakan Tungku Tigo Sajarangan yang terdiri dari tokoh agama nagari, cadiak pandai (kaum intelek) dan ninik mamak, mereka inilah yang disebut dengan Karapatan Nagari, keputusan-keputusan nagari selalu merupakan hasil musyawarah dari Karapatan Nagari.

Setiap senja menjelang terasa sekali daerah ini sangat indah dengan disirami cahaya matahari yang akan kembali peraduannya di balik laut yang begitu tenang. Suasana damai dan penuh keindahan ini tiba-tiba pecah dengan teriakan-teriakan para nelayan tersebut. Segera saja wali nagari dari nagari (desa) nelayan ini memburu datang ke tempat teriakan-teriakan itu. Ternyata sesampai di sana terlihat banyak orang mengerumuni 2 orang pria yang sedang bergumul di pantai saling tinju meninju dan gigit mengigit, terlihat para pemuda yang lain saling memberi semangat kepada temannya sehingga perkelahian ini menjadi lebih seru.

Melihat hal ini sang wali nagari langsung menjadi naik pitam dan berteriak untuk menghentikan kehebohan yang sedang berlangsung tersebut. Teriakan sang wali nagari ini membahana di setiap telinga orang yang ada di sekitar perkelahian tersebut, terlihat secepatnya orang-orang tersebut mengangkat tangan untuk melindungi telinganya dari bentakan sang wali nagari. Dan kedua pemuda yang sedang berkelahi juga otomatis menghentikan perkelahiannya serta buru-buru menutup telinga mereka.

Beberapa orang yang ada di sekitar perkelahian tersebut cepat-cepat berusaha menyingkir dan menjauhi arena, walau tetap tidak meninggalkannya. Mereka tahu sebentar lagi mereka akan menjadi saksi kemarahan dari sang wali nagari yang terkenal dengan kegalakannya dan keanehannya dalam menyelesaikan setiap persoalan yang terjadi serta ilmu silatnya yang tinggi.
Sedangkan yang masih berani tetap tinggal di luar arena tidak berapa jauh dari kedua pemuda yang berkelahi tadi dan sekarang sedang berusaha berdiri dengan susah payah akibat di sekujur badan terdapat luka dan lembam. Begitu kedua pemuda itu melihat sang wali nagari yang sedang berdiri berkacak pinggang dengan pandangan mata yang dingin memiriskan hati langsung mereka tundukkan kepala dan mata mereka memandang pasir pantai. Sang wali nagari yang terus memandang mereka berdua dengan gemas dan jengkel sekali di dalam hati, karena kejadian perkelahian kedua pemuda ini sudah merupakan yang ke lima kalinya terjadi dalam minggu ini.

Persoalan mereka sebenarnya dibilang sepele memang sepele bagi orang lain, tapi bagi pihak terkait merupakan persoalan yang rumit dan menuntut harus ada penyelesaiannya segera. Sambil memandang mereka dengan bengis, sang wali nagari yang bernama Sutan Manenggang Bumi ini atau biasa dipanggil oleh warganya Wali nagari Bumi, memikirkan bagaimana cara yang terbaik menyelesaikannya dan membuat kedua pemuda ini jadi kapok berkelahi lagi. Suasana di sekitar arena menjadi hening tidak ada yang berani membuka suara dan sepertinya semua orang sedang menunggu hukuman mati dari sang wali nagari tersebut. Kedua pemuda itu semakin lama semakin tambah payah kondisinya karena seluruh tubuh terasa sakit dan lutut terasa seperti tahu akibat kelelahan tapi tetap mereka tidak berani beranjak dari posisi mereka karena mereka takut hukuman mereka akan semakin parah jika mereka berani bergerak.

Keadaan di tepi pantai tersebut semakin gelap seiring dengan masuknya sang surya ke dalam peraduannya dan buru-buru beberapa nelayan yang ada di sekitar situ membawa lampu-lampu minyak tanah untuk menerangi tempat perkelahian tersebut. Tiba-tiba terdengar sang wali nagari berkata dengan tegasnya ” Kalian sekarang ikut aku ke rumah.” hanya satu kalimat tersebut yang dikeluarkan oleh sang wali nagari lalu dia berbalik pulang menuju ke rumahnya. Tapi bagi kedua pemuda itu akan terasa seperti siksaan kesakitan yang berkepanjangan karena perjalanan dari tepi pantai ke rumah wali nagari mereka itu cukup jauh jika ditempuh dengan jalan kaki dalam kondisi seperti ini.

Beberapa orang mencoba membantu kedua pemuda tersebut, tapi langsung dibentak oleh sang wali nagari,

” Berhenti !!!”, Siapa yang berani membantu mereka akan menerima hukuman yang sama dengan mereka!!!”

Langsung semua orang yang mencoba membantu berjalan menjauh dari kedua pemuda tersebut, mereka tahu apa yang dikatakan oleh sang wali nagari akan benar-benar dilaksanakan dan selalu membuat mereka jera untuk melanggar peringatan dari wali nagari Bumi.
Entah kerasukan apa kedua pemuda ini yang bernama Sapar dan Keling sampai berani berkali-kali melanggar perintah dari wali nagari Bumi, padahal mereka tahu hukuman yang mereka terima nantinya akan membuat mereka tidak bisa makan dan tidur enak selama beberapa hari tapi tetap saja mereka melanggarnya. Dan hari ini mereka berdua tahu hukuman yang akan diterima akan semakin parah dari sebelumnya dan entah mereka bisa melewatinya dengan baik atau malah membuat mereka tidak bisa bangun dari tempat tidur selama sebulan hanya bisa berbaring dengan menahan sakit.

Mereka tahu hukuman yang paling berat yang pernah diberikan wali nagari Bumi kepada salah satu teman mereka yang secara kurang ajar dan sadis memukuli ibunya sampai muntah darah dikarenakan sang ibu telat memasak makan malam mereka. Ketika hal ini diketahui oleh sang wali nagari, langsung dia menjemput anak kurang ajar tersebut dari rumahnya dan membawa pergi entah ke mana selama 3 hari, dan pulang-pulang sekujur tubuh anak tersebut penuh dengan luka dan lebam yang parah serta beberapa tulang yang patah setelah itu sang wali nagari melemparkan tubuh anak itu ke dalam rumah dan meninggalkan uang serta obat buatan iparnya, Siti, kepada keluarganya untuk merawat anak tersebut.

Teman mereka tersebut selama sebulan tersiksa dengan rasa sakit dan selalu menangis kesakitan, tapi setiap orang bertanya kepadanya apa yang dilakukan oleh wali nagari Bumi, anak itu hanya menjawab sambil menangis pilu ”Memang aku yang salah telah menjadi anak durhaka sehingga pantas dihukum seperti ini, wali nagari Bumi sudah berbaik hati untuk mengingatkan aku atas dosa-dosaku” Berulang kali anak tersebut bicara seperti itu sehingga orang-orang tidak berani lagi mempermasalahkan hal ini pada sang wali nagari, dan hal ini juga menjadi pembicaraan orang-orang di sekitar daerah tersebut, membuat para anak-anak tidak berani lagi kurang ajar pada orang tua mereka. Dan sang pemuda yang durhaka tadi berubah menjadi anak yang patuh dan berbakti pada orang tua, ini semakin membuat penduduk tidak berani mempertanyakan apa sebenarnya hukuman yang diberikan oleh wali nagari Bumi kepada pemuda tersebut, sehingga dia berubah begitu.

Kali ini hati Sapar dan Keling semakin keder dan ketakutan, keringat dingin mengucur dengan derasnya seakan-akan udara malam terasa panas padahal di daerah pantai semakin malam udara semakin dingin. Dengan tertatih-tatih mereka berusaha berjalan mengikuti wali nagari Bumi yang sudah berjalan dengan santainya di depan mereka. Tiba-tiba Sapar terjatuh karena kakinya sudah terasa lemas dan orang yang ada di sekitarnya bergerak hendak maju menolong kemudian terdengar suara dengusan di hidung, langsung mereka mundur dan tidak berani lagi maju.

Sapar berusaha berdiri tegak agar bisa berjalan lagi, dengan susah payah akhirnya dia berhasil berdiri dan melanjutkan perjalanan. Tidak lama giliran Keling yang jatuh seperti Sapar, dan kembali tiada orang yang berani membantu dia berdiri. Dengan susah payah dia berusaha bangkit berdiri tapi tidak seperti Sapar yang bisa berdiri lagi dengan sekali usaha, Keling harus berkali-kali untuk bisa berdiri, akhirnya dia bisa berdiri juga dengan lutut yang mulai gemetar, tapi untuk melanjutkan perjalanan dia lebih membutuhkan waktu dan tenaga agar bisa melangkah dengan perlahan-lahan.

Kembali keheningan menyelimuti rombongan tersebut, setelah Keling mulai melanjuti perjalanannya. Tiba-tiba terdengar wali nagari Bumi berkata ”Jika kamu laki-laki berani berbuat berani tanggung jawab, musuh pantang dicari tapi kalau datang pantang dielakkan. Jadi laki-laki harus bisa membusungkan dada, tidak takut mati untuk kebenaran.”. Orang yang mendengar perkataan tersebut ada yang kebingungan, ada yang manggut-manggut tidak jelas mengerti atau tidak, ada yang tidak perduli, ada yang menjadi merenung, dan ada pula yang tersenyum-senyum seperti orang sinting. Tapi efek perkataan itu bagi kedua pemuda itu berdampak lain, terlihat di wajah mereka berdua berubah memancarkan kekerasan hati dan tekat untuk melanjuti perjalanan ini dengan semangat dan berusaha melupakan kesakitan yang diderita oleh tubuh masing-masing.

Perjalanan yang biasanya dilakukan oleh orang yang tidak sakit bisa ditempuh dalam waktu sebentar terasa menjadi lebih lama dikarenakan di sepanjang jalan kedua pemuda tersebut bergantian jatuh. Hampir mendekati rumah sang wali nagari, tiba-tiba mereka mendengar suara anak kecil laki-laki tertawa cekikikan, beberapa orang dalam rombongan langsung celingukan melihat sekeliling siapakah gerangan anak kecil yang tertawa itu. Dan kemudian mereka mendengar dia berkata, ” Lucu yah kedua uda (sebutan abang dalam bahasa Minang) ini sudah jelas sakit dan sempoyongan jalannya tapi masih saja paksa dirinya jalan dengan susah payah. Ayahkan hanya melarang orang membantu kalian tapi kan tidak melarang kalian memakai tongkat untuk bantu kalian berjalan.” kata anak kecil tersebut.

Terdengar gumaman penduduk, ” Benar juga, wali nagari Bumi tidak melarang mereka memakai tongkat.” Sekarang penduduk tahu siapa anak kecil yang tertawa itu, dia bernama Aswin merupakan anak tunggal dari wali nagari Bumi dan baru berusia 7 tahun. Seorang anak laki-laki yang cerdik, lincah dan jenaka serta berani, semua penduduk sangat menyukai anak nakal ini, tidak ada yang dia takuti termasuk ayahnya, semua tidak bisa berbantahan dengan dia karena kecerdikannya, bahkan sang ayahpun sering dibikin pusing tujuh keliling karena kelakuannya. Tapi selama ini dia tidak pernah melakukan hal-hal yang merugikan atau menyusahkan orang lain sampai parah, paling karena kenakalan dan keisengannya mereka hanya berteriak-teriak saja, dan dia akan berlari-lari sambil tertawa-tawa melihat hasil keisengannya.

Sapar dan Keling seperti tersadar dari mimpi, buru-buru mereka melihat sekeliling mereka untuk mencari kayu yang bisa bantu mereka berjalan. Tapi setelah lihat sana sini tidak kelihatan kayu apapun ada di sekitar tempat mereka berjalan. Kembali mereka merasa putus asa akibat terlalu lelah, letih dan sakit, tapi berhubung malu dengan teman-teman, mereka terpaksa harus berjalan lagi dengan susah payah.

Kembali bocah bandel tersebut tertawa-tawa katanya,”Kasihan juga melihat uda berdua, baiklah aku akan bantu kalian.”

Baru selesai dia bicara, ternyata orangnya sudah berdiri di tengah-tengah kedua pemuda tersebut dan tangannya langsung mengangsurkan masing-masing sebuah tongkat, supaya bisa dipakai. Kedua pemuda itu sebelum menerima tongkat tersebut memandang ke depan ke arah wali nagari Bumi untuk melihat apakah beliau melarang tapi wali nagari Bumi tetap berjalan santai di depan sambil berbicara dengan ninik mamak (para tetua) daerah, Tetua Nurdin, Tetua Kanir dan Tetua Jasman.

Melihat keadaan ini Aswin berkata,’ Ayo uda, ambil saja tongkat ini ayah tidak akan marah, ayahkan manusia juga tahu bagaimana parahnya keadaan uda, jangan sungkan pakai saja kalau ayah marah nanti aku yang tanggung jawab.”

Sambil saling melirik kedua pemuda ini malu-malu dan menggumamkan ucapan terima kasih, mereka menerima tongkat dari Aswin, dan pelan-pelan menyesuaikan diri supaya bisa berjalan menggunakan tongkat, dengan menghembus nafas lega mereka mulai berjalan dengan menggunakan tongkat yang terasa sangat membantu sekali untuk melanjuti perjalanan mereka.
Dalam hati mereka sangat berterima kasih kepada Aswin, dan malu hati karena dibantu oleh anak kecil, sedangkan orang-orang yang ada di dalam rombongan tersenyum senang memandang Aswin. Memang anak ini sangat nakal dan usil tapi juga anak yang baik suka membantu orang lain dalam kesusahan, pintar menghibur dengan saluangnya (sejenis alat musik tiup). Setiap orang yang mendengar suara tawanya, hati yang sedang susahpun terasa lebih ringan karena tawanya sungguh keluar dari hati yang bersih dan tulus. Selain itu Aswin juga merupakan seorang anak yang rupawan dengan satu dekik di pipi dan dagu serta sinar mata yang jenaka dan cemerlang membuat semua orang jatuh sayang padanya.

Sekarang Aswin mengikuti rombongan ini sambil bersiul-siul dan tersenyum ceria, penduduk yang ada dalam rombongan ini memandang dengan tersenyum melihat tingkah bocah ini. Tidak lama sampailah mereka di halaman rumah wali nagari Bumi, di halaman depan rumah ada 2 bangunan kecil seperti rumah utama tapi masing-masing hanya mempunyai 1 ruangan. Yang sebelah kiri merupakan lumbung penyimpanan padi desa, sebelah kanan merupakan penyimpanan peralatan mata pencaharian penduduk seperti layar, jala, alat pancing, dll yang sengaja disimpan wali nagari untuk kepentingan penduduk.

Mereka melanjutkan perjalanan menuju ke rumah bagonjong (rumah Panggung) dengan atap yang berbentuk tanduk kerbau dan berdinding ukiran khas Minang menjadikan rumah ini terlihat indah dan bersih. Rumah ini lumayan besar bagi ukuran penduduk di sini, mempunyai banyak ruangan dan kamar yang mempunyai fungsi masing-masing. Rombongan mengikuti wali nagari menaiki tangga kayu menuju ke dalam rumah, sampai di dalam wali nagari berbelok ke kanan menuju sebuah ruangan besar dan luas yang biasanya memang digunakan untuk kepentingan pertemuan bulanan tidak resmi wali nagari dengan tigo tungku sajarangan dan masyarakat.

Memang ada tempat pertemuan resmi nagari yang dinamakan Balairung Sari Nagari atau Balai Adat, tetapi tempat itu jarang sekali dipakai dikarenakan terkesan resmi dan terasa kaku menjadikan orang merasa tidak leluasa untuk mengeluarkan pendapat secara santai. Sehingga Balai Adat ini digunakan untuk acara-acara resmi seperti menerima tamu-tamu dari pemerintahan pusat, pertemuan resmi dengan kepala-kepala jorong (ketua RT jaman sekarang) beserta tigo tungku sajarangan.

Tetapi wali nagari Bumi dan penduduknya lebih menyukai menggunakan ruangan besar yang ada di rumahnya, lebih terasa akrab dan leluasa untuk menyampaikan sesuatu diantara mereka. Semua orang yang datang mulai mengambil tempat untuk duduk di atas permadani yang sudah digelar tuan rumah, dan terlihat kesibukan orang rumah ini untuk melayani yang hadir, wali nagari Bumi juga meminta kepada pelayan rumah untuk mengambilkan obat-obatan untuk kedua pemuda tersebut. Setelah kedua pemuda diobati dan para tamu sudah mendapatkan minuman pelepas dahaga, suasana menjadi tenang, dan pelayan rumah segera keluar ruangan dan menutup pintu agar tidak mengganggu pertemuan yang diadakan di dalam.

Pertemuan ini dihadiri sekitar 20 orang termasuk tigo tungku sajarangan, orang yang bertugas menjaga keamanan desa, pengurus kewali nagarian, sedangkan penduduk yang lain sebagian pulang ke rumah, sebagian lagi berada di luar rumah duduk di bale-bale yang berada di halaman samping rumah sambil berbincang-bincang, menunggu hasil pertemuan di dalam.

Setelah suasana hening sejenak, terdengar wali nagari Bumi berbicara dengan lantang,”Marilah kita mulai pertemuan ini, seperti yang saudara-saudara ketahui kedua pemuda nagari kita ini berkelahi di tempat umum sehingga mengganggu ketertiban umum. Perkelahian ini sudah terjadi 5 kali dalam minggu ini, dan sudah berkali-kali saya memperingati mereka untuk menyelesaikan masalah mereka dengan baik-baik. Tapi sepertinya perkataan saya tidak ada artinya bagi mereka, oleh karena itu melalui pertemuan ini saya minta bantuan dari para sesepuh sekalian dengan cara bagaimana kita menyelesaikan kasus ini?”

”Sebenarnya apa yang terjadi?” kata tetua Nurdin kepada kedua pemuda itu.

Mereka tidak menjawab, hanya tertunduk malu karena sekarang mereka merasa perkelahian mereka itu tidak ada artinya bagi para tetua dan ini membuat mereka semakin merasa malu.

”Sapar, kamu jawab mamak (paman), sebenarnya ada apa kamu terus saja berkelahi dengan Keling, jawab dengan jujur!” kata tetua Hamid yang merupakan paman tertua Sapar dari pihak ibunya.

Semakin Sapar terdiam dan menundukan kepala, Sapar sangat takut pada mamaknya ini karena beliau sangat keras terhadap kemenakan-kemenakannya yang melakukan kesalahan.

”Eh, Sapar, dengar tidak pertanyaan mamak?”, terlihat Sapar menganggukkan kepala, ”Lalu kenapa sampai sekarang kamu belum menjawab?”

Karena tidak juga terdengar jawaban dari Sapar, mulai mamaknya naik darah kepada kemenakannya sebelum sang mamak melampiaskan kemarahannya, sang wali nagari sudah mengangkat tangannya kepada tetua Hamid.

”Biar saya saja yang menjawabnya, tetua. Persoalannya sebenarnya sederhana saja dari soal ejek mengejek terus meluas ke urusan naksir menaksir perempuan.”

”Seperti kita semua ketahui saya memang memberikan latihan ilmu silat kepada semua pemuda kita yang berminat untuk menjaga keamanan nagari kita ini. Dan ilmu silat ini diberikan untuk tujuan yang baik bukan menjadi ajang saling menonjolkan diri. Tiga hari lagi saya mengadakan ujian untuk kenaikan tingkat dalam belajar ilmu silat, dan untuk tingkatan dasar yang paling menonjol saat ini adalah Sapar dan Keling.”

Lanjut wali nagari Bumi,”Mereka berdua ini selalu saja berusaha menjadi yang terbaik agar bisa menjadi pimpinan di tingkatan mereka, tapi karena kekuatan mereka berimbang maka pimpinan atas tingkatan dasar ini tidak pernah ada. Saya sangat menghargai ambisi mereka untuk menjadi yang terbaik, tapi ini bukan berarti harus saling mencelakai sesama teman......”

”Dduuuuuaaaarrrrrr.”

Tiba-tiba terdengar ledakan yang dahsyat sekali sehingga semua orang di dalam ruangan melompat dari duduknya saking terkejutnya akibat sedang serius mendengarkan wali nagari. Dengan cepat berhamburan keluar wali nagari, disusul petugas keamanan dan yang lain ke luar untuk melihat apa yang sedang terjadi.

Ternyata ledakan itu merupakan kerjaan jahil Aswin untuk mengagetkan orang yang sedang tidur-tiduran di pos keamanan yang kira-kira 10 tombak dari halaman depan rumah arah timur laut. Ledakan itu keras sekali bunyinya dikarenakan mercon yang digunakan oleh Aswin terlalu banyak dan digulung menjadi sebuah gulungan mercon yang sangat besar, jadi bila diledakan akan terdengar keras sekali karena mercon itu meletus bersamaan.

Bocah nakal tertawa-tawa terpingkal-pingkal sambil bergulingan di atas tanah melihat wajah-wajah pemuda yang tadinya tiduran di pos keamanan tersebut. Orang yang punya rumah agak berjauhan dari lokasi kejadian bisa mendengar ledakan tersebut dengan keras, apalagi bagi orang yang mempunyai rumah dekat tempat itu, secepat kilat mereka berlarian keluar untuk melihat apa yang telah terjadi. Bisa dibayangkan bagaimana terkejutnya para penduduk sampai mereka perlu menenangkan jantung mereka sebelum mereka bisa bicara apapun.

Sekejab mata sampailah wali nagari Bumi di tempat kejadian, dan tidak lama tempat itu penuh dengan penduduk yang keluar dari rumah untuk melihat apa yang terjadi. Sukar dilukiskan betapa murkanya wali nagari Bumi ketika mengetahui bahwa itu semua merupakan kerjaan anaknya yang bandel itu. Dengan muka yang merah menahan marah pelan-pelan wali nagari Bumi bergerak ke arah Aswin yang masih saja memegangi perutnya karena sakit, kebanyakan tertawa, para penduduk tahu bahwa anak nakal ini sebentar lagi pasti dihukum berat oleh ayahnya.

Kebetulan Bunda Siti yang biasa membela anak ini sedang tidak ada di rumah, sudah beberapa hari beliau pergi dengan Kahar ke nagari tetangga yang cukup jauh letaknya dari nagari mereka untuk menolong mengobati penduduk yang kena wabah penyakit di sana. Jadi sekali ini tidak ada yang akan membela lagi bocah nakal ini dari amarah sang ayah.

Memikirkan hal itu beberapa penduduk yang memang sangat menyayangi bocah ini merasa kasihan, segera mereka bergegas ke arah bocah ini untuk melindunginya termasuk tetua Nurdin yang memang sangat menyayangi anak nakal ini karena tetua Nurdin melihat anak nakal ini seperti almarhum cucu kesayangannya yang meninggal akibat sakit yang pernah mewabah di nagari mereka yang juga menewaskan semua keluarganya yang lain.. Dan Aswin, anak itu sangat mengerti disayang oleh tetua Nurdin, dengan pintar dia mengambil hati sang kakek dengan memanggil kakekku dan selalu menghibur sang kakek supaya tidak kesepian dengan tiupan saluangnya.

Kali ini tetua Nurdin tahu anak ini akan dapat masalah besar dengan kenakalannya seperti itu. Memikirkan itu segera tetua Nurdin menghadang wali nagari Bumi untuk mendekati Aswin, katanya,” Tunggu Bumi, jangan emosi dulu, bertanya yang baik-baik pada dia, apa yang terjadi, jangan kamu marah-marah dulu.”

Dan beberapa penduduk juga segera mendukung perkataan tetua Nurdin. Terlihat wajah wali nagari Bumi bertambah merah menahan geram melihat anaknya yang sekarang tiba-tiba sudah berdiri bersembunyi di belakang isteri tetua Jasman yang juga termasuk orang yang sangat menyayangi bocah nakal ini, berdiri berdampingan dengan beberapa perempuan lain untuk melindungi Aswin. Sepertinya hampir semua perempuan yang hadir di sana baik tua maupun muda bergerak ke depan untuk melindungi Aswin dari amukan ayahnya.

Ini tidak mengherankan bagi yang melihat karena memang bocah bandel ini sangat disayangi oleh perempuan-perempuan ini dikarenakan wajah rupawannya, kata-kata manisnya dan perbuatan-perbuatannya yang menyentuh perasaan perempuan-perempuan ini.

Dari kecil sudah kelihatan bakat bocah ini menaklukan hati perempuan, seperti terhadap isteri tetua Jasman, Piah, ketika itu Piah sedang bersedih hati akibat suaminya yang melaut sudah beberapa hari tidak pulang sehingga dia kuatir sekali dan sering duduk di depan jendela rumah memandang ke laut dengan merenung mengharapkan suaminya segera pulang. Aswin yang sering lewat depan rumah itu melihat Piah murung begitu, merasa ingin membantu menghilangkan kesedihan Piah. Semenjak saat itu setiap Aswin melewati rumah itu dia selalu memberikan bunga hutan untuk Piah agar tidak murung lagi. Bunga hutan yang diberikan Aswin sangat indah dan bermacam-macam warna sehingga Piah yang memang menyukai bunga merasa senang sekali dengan hadiah itu.

Setiap Aswin memberikan bunga kepada Piah, dia hanya berkata,”Bibi, bunga ini kasihan sekali membutuhkan teman seperti bibi untuk menemaninya melewati hari.”

Selama seminggu penuh Aswin memberikan bunga-bunga itu, oleh Piah, bunga itu ditaruh di pot-pot, diberi pupuk, disirami sehingga menjadi tambah berkembang, sekarang setiap sore Piah sibuk mengurusi bunga-bunga pemberian Aswin. Sedikit demi sedikit kemurungannya berkurang, sampai saat suaminya pulang dia menceritakan kebaikan hati Aswin kepadanya. Setelah suaminya pulang, Aswin tidak pernah lagi memberikan bunga kepada Piah, tapi setiap lewat di depan rumah Piah, dia selalu memanggil Piah dengan tersenyum dan melambaikan tangannya saja, atau kadang-kadang dengan lucu dia berkata ,’ Bibi, bagaimana kabar bunga kita, aku harap dia bisa mendapat banyak teman di samping bibi.”

Sejak saat itu bocah bandel itu sudah menempati tempat yang khusus di hati Piah, ini juga terjadi pada beberapa perempuan penduduk nagari ini, jadi bisa dimengerti sekarang mengapa mereka membelanya.

Sang ayah yang tahu sifat anaknya yang nakal ini langsung berkata,’Aswin, kamu anak laki-laki atau bukan, kenapa kamu berlindung di belakang perempuan, apa tidak malu ?, ayah kan sudah bilang pada kamu jadi laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab bukannya bersembunyi seperti seorang pengecut.”

Memang perkataan itu sangat ampuh, segera saja Aswin bergerak ke depan ayahnya untuk menerima hukuman karena dia tahu sudah berbuat salah sehingga menyebabkan ayahnya marah seperti itu.

Dengan cepat dia berkata,” Ayah, Aswin salah, maafkan Aswin.”

”Apa kamu tahu salah kamu ?”

Aswin menganggukkan kepalanya.

”Karena itu kamu pantas dihukum bukan?”

”Iya, ayah.” kata Aswin dengan tegas sambil menatap sang ayah. Memang anak ini bernyali besar, tidak takut mengakui kesalahannya dan keras hati, serta bertanggung jawab.

”Menurut kamu, hukuman apa yang pantas ayah berikan kepada kamu?”
Bumi mengirimkan ilmu suara kepada anaknya supaya tidak didengar oleh orang lain, katanya,"Aswin, ingat kamu sudah bersalah sehingga mengganggu orang lain. Oleh karena itu ayah ingin kamu tidak menggunakan tenaga dalammu untuk menerima hukuman apapun itu. Jadi kamu pikirkanlah sebaik-baiknya hukuman apa yang pantas buat kamu karena telah membuat orang lain terganggu."
Terlihat Aswin merenung sejenak, dan orang-orang di sekitar mereka menunggu dengan gelisah sekali, karena mereka tahu sekali Aswin bilang hukumannya maka dia akan melaksanakannya walaupun itu menyakitkan bagi dia tapi tidak pernah dia mengeluh.

”Hukuman pukul pantat 20 kali.” kata Aswin.

Langsung saja penduduk protes keras kepada wali nagari untuk tidak memberikan hukuman ini kepada Aswin karena hukuman ini terlalu berat bagi anak seumuran Aswin. Wali nagari Bumi mengangkat tangannya untuk meminta penduduk diam.

”Teman-temanku yang tercinta, aku berterima kasih kepada kalian atas perhatian dan limpahan kasih sayang kepada anakku, tapi anak nakal ini jangan kalian manjakan, bagaimana nanti dia besar ? apakah dia akan lolos dari setiap kesalahan yang dia perbuat ? akan jadi apa dia besar kelak?”

Beberapa penduduk manggut-manggut mendengarkan perkataan wali nagari Bumi, tetapi tetap saja para perempuan itu protes dengan hukuman seberat ini.

”Apa tidak bisa diberikan hukuman yang lebih ringan?”,

”Apa harus hukuman pukul pantat itu?”,

”Apa memang harus 20 kali pukulan?” kata tetua Nurdin lagi..

Wali nagari Bumi sambil geleng-geleng kepala dan menghela nafas berkata,”Ayah mana sih yang senang menghukum anaknya sendiri, tapi aku mengharapkan dia bisa menjadi pemuda yang berguna bagi nusa dan bangsa, membela kebenaran, bertindak adil, dan arif bijaksana. Sekarang kalian terlalu melindungi dia, sehingga aku kuatir nanti dia akan menjadi orang yang tidak berguna dan pengecut menjalani kehidupannya.”

”Dan lagi bukan aku yang memberikan hukuman itu kepada dia, Aswin sendiri yang mengatakan hukuman apa yang pantas untuk kenakalan dia.”

Segera para perempuan ini membujuk Aswin untuk merubah hukuman bagi dirinya sendiri, tapi Aswin menggeleng-geleng kepala dengan tersenyum dan berkata,”Terima kasih kepada paman dan bibi serta kakek dan nenek atas kasih sayangnya untuk Aswin, tapi yang dikatakan ayah benar kalau jadi laki-laki berani berbuat berani bertanggung jawab.”

”Tapi Aswin, kamu masih kecil 20 kali pukulan itu berat sekali.”

”Jangan kuatir, paman Amin, hukuman ini memang pantas untuk Aswin, percayalah Aswin masih sanggup menerimanya.”

”Kalian dengar sendirikan, Aswin akan menerima hukumannya.”

”Tapi Wali nagari Bumi,....”

”Wali nagari Bumi, .....” kata Tetua Nurdin dengan emosi yang mulai naik...

”Apa tidak bisa.....”

Wali nagari Bumi mengangkat kembali tangannya untuk menenangkan penduduk.

”Begini sajalah, supaya kalian tidak berpikir aku ayah yang kejam, maka hukuman Aswin kita laksanakan di sini agar kalian bisa melihat sendiri.”

Ketika melihat penduduk diam walau dengan wajah yang tidak puas terutama tetua Nurdin yang sepertinya sebentar lagi akan meledak emosinya, dengan cepat wali nagari bumi memanggil Andi dan Eri sebelum para penduduk protes lagi, untuk mengambil pentungan dan kursi duduk yang ada di pos keamanan itu. Kedua pemuda ini segera bergerak mengambil barang yang diminta oleh wali nagari.

Saat mereka tiba dengan barang-barang tersebut, mulai para perempuan protes setelah melihat pentungan besar yang dibawa Eri, begitu sampai segera kepala Eri dijitak tetua Nurdin.

”Aduh, ...”

Dengan marah beliau berkata,”Eri, kamu ini benar-benar orang yang tidak punya perasaan, mengapa bawa pentungan yang besar ini apa sudah tidak ada yang lebih kecil ? Apa kamu buta tidak lihat sebesar apa si Aswin itu ?”

”Maaf guru, ini pentungan yang paling kecil yang ada di pos keamanan.”

”Masak tidak ada yang lebih kecil lagi.”

”Benar guru, ini yang paling kecil.”

”Sudah, sudah, tetua Nurdin, memang ini pentungan yang paling kecil karena kalo lebih kecil lagi bukan pentungan namanya tapi ranting.” kata wali nagari Bumi.

”Aswin ke sini, terima hukuman kamu.”

Segera Aswin berjalan ke arah bangku yang sudah disiapkan dan meletakkan telapak tangannya di bangku serta menggeser kedua kakinya ke belakang sehingga posisinya membentuk segitiga.

Kata wali nagari Bumi,”Tetua Nurdin, karena bapak sangat menyayangi anak ini, bagaimana kalau hukuman ini bapak yang laksanakan ? Semua kuatir, kalau aku yang memukul, anak ini bisa jadi cacat nantinya. Tapi bukan berarti bapak menjadi main-main memberikan hukuman pada anak nakal ini, aku percaya bapak mengerti perasaan dan keinginanku terhadap anak ini.”

Tetua Nurdin terdiam sesaat, tidak tahu harus berkata apa, tapi setelah dipertimbangkan memang lebih baik dia saja yang memukul anak ini, biar bagaimanapun dia tahu kekuatannya jadi lebih merasa tenang daripada sang wali nagari sendiri yang memukul Aswin.

Segera Eri memberikan pentungan itu kepada tetua Nurdin, dengan perlahan dia berjalan menuju tempat Aswin sedang menunggu. Sesampainya di situ, tetua Nurdin terdiam dan terlihat merenung, seakan tidak tega memukul Aswin.

”Kakekku yang baik, Aswin percaya pada kakek.” sambil dengan tenang dia memandang tetua Nurdin bahkan memberikan senyuman manisnya pada sang kakek.

Tetua Nurdin segera mengambil sikap untuk mulai melaksanakan hukuman ini, penduduk yang tadinya merapat di sekitar Aswin mulai bergerak agak menjauh tapi tidak jauh-jauh karena kuatir Aswin akan kesakitan atau terjatuh akibat pukulan tersebut dan mereka cukup dekat untuk siap-siap menolongnya. Tapi wali nagari Bumi tetap menyuruh mereka mundur lagi sehingga tempat itu menjadi sedikit lebih luas.

Tak lama terdengar, buk..., pukulan pertama sudah mendarat dengan mulus di pantat Aswin, menyusul bunyi buk lagi, buk..., buk..., dan seterusnya.. Anak bandel ini diam menerima hukuman tidak ada keluar dari mulutnya keluhan sakit, hanya keringatnya turun dengan derasnya dan wajahnya mengerenyit menahan sakit. Sempat pada pukulan yang ke sebelas dia jatuh berlutut karena lututnya lemas menahan sakit, tapi dengan cepat dia berdiri lagi agar hukuman ini cepat selesai. Dia melakukan permintaan ayahnya untuk tidak menggunakan tenaga dalamnya, jadi murni dia menerima hukuman itu menghajar pantatnya, sakitnya tidak bisa dikatakan tapi karena dia memang anak yang keras dan bertanggung jawab dia merasa ini hukuman yang pantas untuknya.Kalau saja dia menggunakan tenaga dalamnya, bukan saja dia bisa melindungi pantatnya dari hajaran tongkat itu, tapi juga bisa membuat tongkat itu patah. Tenaga dalam dia sudah termasuk dalam kategori tinggi, bisa disamai dengan pesilat tingkat 4 dalam sebuah perguruan besar. Selain mematuhi perintah ayahnya, sebenarnya dia juga sudah dilarang keras oleh gurunya untuk tidak menonjolkan diri kepada orang lain jika memang tidak dalam keadaan terpaksa. Gurunya tidak mau dia meyombongkan diri dan berlaku seenaknya saja mentang-mentang dia lebih dari orang lain. Aswin mematuhi larangan ini, karena dia tahu hukuman yang bakalan diterima dari gurunya lebih menyakitkan lagi, walaupun dia menggunakan tenaga dalamnya tetap saja tidak ada gunanya.

Akhirnya hukuman itu selesai, langsung tetua Nurdin membuang pentungan itu jauh-jauh dan bergerak ke arah Aswin untuk menolongnya serta membopongnya, penduduk yang tadinya menjauhkan diri juga langsung mendekati mereka. Beberapa perempuan itu bahkan sudah memegang obat-obatan untuk mengobati Aswin, baju ganti karena bajunya sekarang sudah basah kuyuh karena keringat, entah sejak kapan mereka menyiapkan itu

Dengan sigap mereka menukar baju dan mengobati pantat Aswin sudah bertambah besar dua kali lipat dari biasa dan sudah berubah warna menjadi hitam keungu-unguan. Melihat hal ini beberapa perempuan itu menitikan air mata, dan tetua Nurdin terlihat menghela nafas dalam-dalam.

”Maafkan kakek yah Aswin, kakek terpaksa melakukan ini.”

Dengan lemah dan tersenyum, Aswin menjawab,” Kakekku jangan sedih, tidak lama lagi akan sembuh, terima kasih yah kakekku tidak memukul Aswin keras-keras.”

Hati tetua Nurdin semakin terenyuh mendengar kata-kata Aswin.

”Lain kali kamu tidak boleh lagi berbuat nakal seperti itu, tidak selamanya kakek bisa melindungi kamu.”

”Ya kakekku.” kata Aswin dengan senyum lemah dan mata yang masih bersinar jenaka.

Wali nagari Bumi yang melihat hal ini hanya bisa menarik nafas panjang dan mengurut-urut dada melihat tingkah laku anaknya. Dia mengerti sekali bagaimana hormat dan sayangnya penduduk kepada dirinya dan keluarga, tapi yang tidak pernah dia duga selama ini ternyata para penduduk sedemikian besar cinta mereka pada Aswin. Dalam hati dia bertanya, apakah ini merupakan karunia atau musibah bagi sifat Aswin kelak, karena begitu banyak orang yang bersedia berkorban untuk dia.

Sesudah itu wali nagari Bumi mendekati kerumunan penduduk dan Aswin, dia bermaksud menggendong anaknya untuk dibawa pulang, sehingga bisa dirawat dengan baik serta meneruskan pertemuan tadi yang tertunda. Tapi tetua Nurdin menolak wali nagari Bumi mengambil Aswin dari tangannya, kakek tua yang masih kelihatan segar dan kuat itu berkeras ingin menggendong dan membawa bocah bandel ini pulang ke rumah.

Akhirnya wali nagari Bumi mengalah, dan berkata kepada penduduk,” Terima kasih aku ucapkan kepada kalian yang telah begitu menyayangi anakku. Sekarang kita lanjutkan pertemuan tadi yang sempat tertunda.”

Seperti tersadar penduduk, bahwa ada masalah yang harus diselesaikan lagi, segera mereka semua berjalan, ada yang menuju rumah wali nagari, ada yang pulang ke rumah, ada yang kembali ke pos keamanan untuk berjaga-jaga sudah tidak berani tidur lagi akibat perestiwa tadi.

Sesampai di rumah dan Aswin sudah dibaringkan tengkurap di tempat tidurnya tidak lama sudah tertidur pulas karena keletihan, setelah memastikan Aswin baik-baik saja maka wali nagari Bumi dan tetua Nurdin keluar kamar Aswin dan berjalan ke ruangan pertemuan untuk melanjutkan pertemuan tadi.
Setelah semua orang berkumpul, kembali pertemuan dilanjutkan. Akhirnya diketahui bahwa perkelahian ini dimulai dari perebutan kedudukan sebagai ketua kelompok dan berlanjut sampai pada perempuan yang sama-sama mereka sukai. Dari saling ejek mengejek sampai hina menghina yang berakhir dengan saling baku hantam. Kedua pemuda ini diberikan kesempatan membela diri dan hampir pula baku hantam kembali karena emosi mendengar pembelaan masing-masing pihak. Ini tambah membuat wali nagari Bumi marah, alhasil terlepas dari siapa yang salah tetap karapatan nagari memberi hukuman kepada kedua pemuda ini.

Hukuman yang diberikan berdasarkan perguruan silat, mereka tidak diperbolehkan ikut ujian kenaikan tingkat dan ketua tingkat serta tidak diperbolehkan ikut latihan silat lagi kecuali jika selama 1 tahun mereka bisa menunjukan maksud baik mereka untuk memperbaiki diri dengan menolong sesama yang membutuhkan pertolongan. Secara masyarakat, mereka diharuskan merantau selama 1 tahun untuk mencari pengalaman sehingga bisa membantu membentuk sifat mereka nantinya. Mendengar keputusan ini kedua pemuda itu terpaksa menerima, mereka menyesali diri karena hukuman ini membuat mereka tidak bisa belajar ilmu silat lagi dan menjauhkan mereka dari gadis pujaan mereka. Tapi di sisi lain mereka merasa lega juga karena hukuman ini lebih ringan dari yang mereka bayangkan sebelumnya. Merantau merupakan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat Minang dari dahulu kala sehingga hukuman merantau bagi kedua pemuda ini dan keluarganya bukanlah merupakan hal yang terlalu memberatkan, karena kebetulan juga kedua pemuda ini sudah cukup umur untuk diperbolehkan merantau oleh keluarganya..

Hampir tengah malam baru pertemuan ini selesai, semua orang puas dengan hasil keputusan bersama itu, dan kedua pemuda tersebut sudah bersedia menerima hukumannya. Disepakati seminggu setelah hari ini, kedua pemuda itu harus meninggalkan nagari (kampung) untuk memulai perantauannya. Sang wali nagari menutup pertemuan tersebut, dan mulai orang-orang meninggalkan ruang pertemuan untuk pulang menuju rumah masing-masing. Sapar dan Keling dibantu keluarganya pulang ke rumahnya dengan dipapah, sempat sebelum pulang mereka membungkukan badan kepada wali nagari sebagai guru silat mereka untuk meminta maaf karena telah mengecewakan beliau.

Akhirnya rumah wali nagari sudah sepi dari tamu-tamu, yang tertinggal para pelayan yang sedang membersihkan sisa-sisa sampah yang ditinggalkan dan merapikan kembali ruang pertemuan tersebut. Setelah selesai semuanya wali nagari menyuruh mereka untuk beristirahat dan dia sendiri sebelum masuk kamarnya, menyempatkan diri masuk ke kamar Aswin untuk melihat keadaan anaknya. Dia memandang anaknya yang pulas itu dengan mata yang memancarkan sayang yang mendalam, biarpun anak ini nakal dan sering buat dia pusing kepala tetapi tetap merupakan buah cinta kasih dari mendiang isterinya, yang harus dijaga dengan baik-baik sesuai amanah sang isteri. Setelah puas memandangi sang anak, dia keluar dan menutup pintu kamar anaknya dan kembali ke kamarnya untuk beristirahat.

Jauh malam menjelang subuh dan semua penghuni rumah sudah tertidur pulas, tampak sebuah bayangan memasuki kamar Aswin, bayangan itu memandang Aswin yang tertidur pulas, dan bergerak menuju ke arahnya, pelan-pelan bayangan itu membuka celana Aswin untuk melihat kerusakan di pantat Aswin. Sambil menghela nafas dan geleng-geleng kepala bayangan itu tersenyum kecil melihat pantat bocah itu yang sudah berubah warna matang keungu-unguan. Pelan-pelan bayangan itu merogoh saku bajunya dan mengeluarkan sebuah botol dan menuangkan isi cairan botol itu ke telapak tangannya dan mengusapkan ke pantat bocah itu. Segera terlihat reaksinya pelan-pelan warna keunguan itu berubah memudar menjadi agak kemerah-merahan gelap dan terus memudar menjadi agak kuning pucat lama kelamaan warna itu sudah tidak ada di pantat bocah itu.

Setelah itu bayangan itu kembali mengeluarkan botol lain dan menuangkan 1 butir obat ke tangannya, lalu perlahan-lahan memegang wajah Aswin dan membuka mulutnya, kemudian mendorong obat itu ke dalam mulut terus menutupnya, obat itu langsung cair begitu kena air liur Aswin dan secara tidak sadar Aswin menelan cairan tersebut, anehnya Aswin tidak merasakan apapun di mulutnya sehingga bocah ini tidak terbangun dari tidurnya.

Perlahan bayangan tersebut meraba-raba sekujur tubuh Aswin, dia ternyata memeriksa sekujur tubuh Aswin dan dengan menggunakan tenaga dalamnya mengurut beberapa syaraf penting dalam tubuh Aswin untuk memperlancar aliran darahnya yang tersumbat akibat memar di pantatnya serta membantu obat yang diminum Aswin untuk segera bergerak ke arah beberapa pembuluh darahnya yang pecah akibat pukulan pentungan itu dan mengobatinya.

Setelah puas dengan hasil pemeriksaannya, pelan-pelan dia menaikan kembali celana tidur Aswin. Masih dengan tersenyum kecil bayangan itu membelai rambut Aswin, terdengar dia menggumam,” Anak nakal, ada saja tingkah lakumu, entah bagaimana kamu besar nanti, aku tidak bisa membayangkan apa yang bisa kamu lakukan untuk membuat semua orang pusing karena perbuatan kamu.”

Sambil kembali tersenyum simpul, bayangan itu membayangkan kenakalan apa yang dilakukan bocah ini suatu saat nanti bila dia besar, karena memang menurut ramalan yang telah dia hitung dari susunan bintang di langit, anak ini akan menggemparkan dunia persilatan dan kerajaan Pagaruyung dengan sepak terjangnya dan akan menjadi orang kepercayaan raja Adityawarman kelak. Oleh karena itu anak ini harus dibimbing sebaik-baiknya ke arah kebaikan karena dia juga sudah melihat dalam ramalannya jika anak ini tidak dibimbing dengan baik, dia akan menjadi orang yang paling jahat yang pernah dilahirkan di dunia ini.

Beberapa saat sebelum anak ini dilahirkan, dia mendapat wangsit dari kakek gurunya, Datuak Jangek Kuniang (Datuk Kulit Kuning), untuk pergi ke nagari Batang Kapeh, karena di sana akan dilahirkan anak yang luar biasa yang akan menjadi pewaris utama ilmu perguruan mereka. Dia ditugaskan kakek gurunya untuk melindungi dan membimbing anak ini sampai dia bisa menguasai ilmu perguruan mereka dengan baik dan membimbing akhlaknya untuk menjadi orang yang lurus hatinya. Memang ilmu perguruan mereka sangat sulit sekali untuk dikuasai karena banyak perubahan dari setiap jurus yang ada bahkan dia saja hanya bisa menguasai 5 jurus utama dari ilmu itu, sedangkan ilmu itu sendiri ada 9 jurus utama dengan beragam variasi gerakan.

Karena seiring dengan kelahiran anak ini, juga akan lahir anak iblis yang akan menjadi momok bagi manusia, jika anak ini menjadi sesat maka akan ada 2 iblis yang haus darah yang akan menghancurkan prikehidupan umat manusia dengan tindakan-tindakan kejam dan sadis mereka. Makanya kakek gurunya menugaskan dia untuk membuat keseimbangan alam tidak terganggu dengan membimbing anak yang dilahirkan di nagari Batang Kapeh itu untuk melawan iblis yang akan dilahirkan menjadi musuh abadinya kelak.Mengenai kelahiran anak iblis itu, kakek gurunya tidak mengatakan apapun padanya, jadi walaupun dia penasaran seperti apa anak itu kelak, tetapi dia tidak berani menanyakan kepada kakek gurunya.

Kakek gurunya hanya berpesan untuk mendidik, mengawasi dan menjaga anak ini sampai akan datang orang hebat luar biasa untuk melanjutkan membimbing anak ini, dan dia harus melaksanakannya dengan baik karena kehidupan manusia kelak tergantung di tangannya.

Saat dia sampai di nagari Batang Kapeh bertepatan dengan hari kelahiran dari Aswin, dia melihat adanya perubahan alam yang hanya bisa dilihat oleh mata batin, di mana hawa kegelapan bergerak sama kuatnya dengan hawa terang, mengitari tempat kelahiran anak ini, dan aliran energi di sekitar rumah itu terasa penuh muatan kekuatan gaib mengelilingi seluruh rumah.

Ketika akhirnya anak ini lahir, energi yang ada di sekitar rumah tiba-tiba buyar seperti ditelan sebuah kekuatan yang lebih besar lagi yang keluar dari dalam rumah. Dan hawa kegelapan dan hawa terang secara bersamaan seperti tersedot ke dalam rumah seiring dengan tangisan bayi yang semakin keras memecah kegelapan malam.

Bersamaan dengan itu nun jauh di sebelah selatan di balik bukit dia juga melihat adanya pusaran hawa kegelapan yang pekat bergulung-gulung membentuk kerucut dan bergerak ke bawah dan terus menghilang di balik bukit. Hatinya berdebar keras sekali melihat keadaan alam seperti itu, kekuatan batinnya dapat merasakan lahirnya sang pembawa bencana bagi manusia dan ini membuat dia semakin bertekat untuk menyelesaikan tugas yang diberikan oleh kakek gurunya.

Oleh karena itu dia memutuskan untuk menetap di nagari Batang Kapeh ini agar bisa mengawasi anak ini, dia hidup membaur dengan penduduk nagari Batang Kapeh, tidak ada yang menyangka bahwa salah satu dari penduduk tersebut merupakan pendekar sakti yang paling mumpuni di ranah Minang ini. Dia merasa beruntung karena tidak ada penduduk yang mencurigai tindak tanduknya, penduduk hanya tahu bahwa dia merupakan pendatang yang ingin menetap di nagari ini setelah kematian seluruh keluarganya akibat wabah penyakit.

Kehidupan dia di nagari ini memberikan perasaan aman damai, tidak seperti dulu ketika dia masih berkecimpung di dunia persilatan, dia merasa hidupnya selalu saja ada masalah dan penuh keruwetan sehingga membuat dia jarang bisa tersenyum dan tertawa, tetapi sejak dia tinggal di sini kehidupannya benar-benar berubah dia bisa menikmati hidup seperti orang umumnya dan bahkan mendapat hiburan dengan kehadiran Aswin yang selalu meramaikan kehidupan di nagari ini dengan kenakalan-kenakalannya.

Hari semakin menjelang pagi, sekali lagi dia memastikan anak ini tidak apa-apa, kemudian dia melangkah keluar dari kamar Aswin, sesampai di luar kamar, bayangan itu langsung berkelabat menghilang seperti gumpalan asap yang memudar kena tiupan angin. Kembali kesunyian menyelimuti keadaan rumah ini, tidak ada yang tahu bahwa sesaat lalu ada orang yang datang menjenguk Aswin tanpa setahu mereka semua bahkan wali Bumi yang berkepandaian tinggi sekalipun tidak dapat mendengar kedatangan bayangan ini. Dapat dibayangkan betapa hebat ilmu bayangan tersebut dan tidak ada orang yang dapat menduga siapa gerangan bayangan tersebut.



bersambung